Titip Anak Saya

tumblr_m9fn51UTjY1r97l2uo1_1280

Ketika kau melihat hal buruk dalam diri anakmu, koreksilah dirimu. Sesungguhnya Allaah sedang memintamu mengubah hal buruk yang ada dalam dirimu. (Hasan Al-Bashri)

“Bu, mohon bimbingannya. Beri anak kami motivasi agar dia semangat belajar dan menghafal Al-Qur’an…”

“Bu, mohon lebih kreatif lagi cara pengajarannya. Kami kan menyekolahkan anak kesini biar mereka pandai baca tulis…”

“Bu, anak saya masih suka nonton tivi. Bu, anak saya malas mengerjakan PR. Bu, anak saya… Anak saya… Yah intinya,

Itu “sedikit” catatan orang tua buat kami, guru yang sebenarnya belum tuntas belajarnya. Tapi tampaknya PR kami sudah banyak sekali. Hiks. 😥 Terus terang, jika boleh kami melempar pertanyaan, “Kami bisa apa, Pak Bu?” Kalian menuntut anak-anak begini begitu, menuntut sekolah dan guru harus ini dan itu, sedangkan waktu kalian habis untuk hal-hal di luar urusan anak-anak. 😥

Darimana datangnya semangat belajar, jika anak-anak dinomorduakan? Anak-anak peka betul perasaannya. Saya dulu juga anak-anak.

Darimana datangnya rasa senang belajar, jika sepulang sekolah mereka dapati rumah kosong. Kalaupun ada orang, tidak lain adalah (maaf) asisten rumah tangga.

Darimana datangnya rasa bosan dengan televisi, jika menyuruh anak belajar, kita sambil pencat-pencet remot tivi.

Darimana datangnya semangat menghafal Al-Qur’an, jika Ayah dan Bunda tak pernah terlihat membersamai Al-Qur’an?

Sekolah hanya bagian dari sarana belajar. Bukan komponen utama. Madrasah pertama dan utama justru bermuara dari keluarga.

Menyekolahkan anak tidak berarti menyerahkan amanah mendidik kepada sekolah, seutuhnya. Bukan. Jika ada sekolah yang gagal mendidik anak, tentu pertanyaan yang tidak boleh lepas adalah, “Bagaimana peran orang tuanya?” Sekolah membekali ilmu berdasarkan kurikulum. Ortu membekali semangat, perhatian, dan kasih sayang. Bukan waktu luang.

Saya menyaksikan sendiri, betapa sekolah menjadi beban bagi anak-anak karena mereka kurang dukungan dari dalam rumah. Kalaupun ada dukungan, sifatnya semacam SKS. Sistem Kebut Semalam. Kalau besok ujian, barulah disuntikkan semangat belajar dosis tinggi. Kalaupun ada dukungan, tergesa-gesa betul, karena besok pagi ada rapat dan tugas kerja jam sekian sampai sekian. Anak capek belajar. Ortu capek bekerja. Sampai di rumah, seisi rumah capek semua. Besok paginya, anak disuruh semangat belajar. “Kan demi masa depanmu, Nak…”

Kalau hasil ulangan jeblok, salahkan gurunya. Bahkan lebih parah, salahkan juga anaknya. Praktis, sekolah pun semakin tampak menyeramkan.

Wahai Ayah, duhai Bunda. Saya pun (masih) seorang anak. Bahkan belum berpengalaman menjadi orang tua. Maafkan jika silap kata. Wahai Ayah, duhai Bunda. Saya hanya mencoba memposisikan diri menjadi anak-anak, seperti kala lima belas tahun yang lalu. Anak-anak hari ini, tampaknya berat sekali beban hidupnya. Bayangkan, kita menuntut mereka menjadi anak yang berprestasi, namun motivasi kita hanya disuapkan sekali-sekali, itupun di waktu luang. Tampaknya memang pelik betul menjadi orang tua. Ujung-ujungnya: salahkan karir. Padahal, maksud kami bukan begitu juga. Skala Prioritas. Itu saja tampaknya.

(Kultwit #TitipAnakSaya di linimasa @laninalathifa)


Ayah Bunda yang dirahmati Allaah. Kewajiban mendidik anak itu tidak berakhir ketika anak sudah bersekolah. Anak yang disekolahkan itu HANYA dititipkan SEMENTARA. Itu artinya, ketika mereka kembali ke rumah, Ayah Bunda bertanggung jawab penuh atas pendidikannya. Bahkan di sekolah pun, mereka tetaplah anak Ayah Bunda, bukan anak guru-gurunya.

Ayah Bunda, anak itu titipan Allaah kepada Anda. Maka jangan pernah merasa berlepas tangan ketika anak itu dititipkan kepada orang lain. Anak tidak sama dengan barang yang bisa dengan mudah dititip-titipkan.

Ibarat mobil, kami hanya mengendalikan pedal gas dan remnya, namun engkaulah kemudinya. Engkaulah yang semestinya menggenggam erat jemari tangannya, sampai kelak mereka melepaskannya sendiri karena telah paham arah kemudi.

Ayah Bunda, tidakkah kelak engkau juga yang akan berbahagia ketika Ananda menjadi anak yang shalih dan shalihah?

Tertanda,

Guru yang belum tuntas belajarnya. 🙂

Tinggalkan komentar