Merinai

“Jangan lelah berbekal, berbenah, dan mempersiapkan diri. Semoga Allaah mempertemukan kita dengan ketetapan-Nya yang terbaik…”

Idealisme saya selama ini tentang menikah–mesra–punya anak–bahagia sepertinya memang ada yang mulai perlu dibenahi. Yah, namanya juga sudah pukul 23. Urusan yang “itu tuh” terasa makin naik daun prioritas. Hehe. Ngebet? Ga juga sih. Biasa aja. Saya pikir, ya udahlah, jodoh ga bakal kemana. Kalo ga ke hatimu ya ke hati dia. Wkwkwk.

Lagi pula buat apa sih terus menerus menggalaukan sesuatu yang sebenarnya sudah ditakar pasti. Kalau bukan saat ini, ya lain kali, di waktu yang lebih tepat. Kalau bukan dengan dia, ya berarti dengan dia yang lain, yang lebih baik. Kalau bukan disini, ya in syaa Allaah di jannah-Nya. Begitu, kan?

Menikah, Kemudian Mesra?

Ya kali. Apalagi bulan-bulan permulaan membangun rumah tangga. Dunia terasa milik berdua, yang lain cuma indekos–ibu kosnya galak–terus pindah kos. Nah kan, kurang apa coba.

Terus terang, saya punya hobi bikin puisi-puisi pendek (ala saya, bukan ala Pak Sapardi, wkwkwk), yang ceritanya sih buat future husband. halah Yah, semacam gombal script gitu deh. Hobi yang apa banget ini bisa dibilang adalah efek dari postingan-postingan rayuan gombal suami istri di media sosial.

Apes! The power of social media strikes me.

Belum lagi bacaan-bacaan mendayu yang diksinya aduhai. Ternyata itu semua berpengaruh sekali terhadap hati dan perasaan saya. #tsah Makanya kalo masih jomblo, pandai-pandailah memilih dan meramu kadar bacaan. Bersiaplah menggalau sepanjang hari jika kita belum bisa move on dari bacaan mendayu-dayu semacam itu. Hehehe. 😀

Belajar dari situ, saya pun menarik kesimpulan, bahwa: memamerkan kemesraan hanya akan menyulut api cemburu dan kegalauan bagi orang lain. Saya tulis “memamerkan”, maaf kalo rada nyelekit.

No offense. Ini yang saya rasakan ya. Entah bagaimana bagi orang lain. Hanya saja, menjaga perasaan manusia ternyata memang lebih rumit daripada menjaga perasaan kucing yang sedang jingkrak-jingkrak kelaparan. Mungkin kita berasumsi bahwa dengan mem-posting tulisan-tulisan romantis, kemudian kita tag nama suami/istri kita, itu bisa menjadi motivasi menikah bagi orang lain, atau motivasi buat pasangan lain biar berlaku mesra sebagaimana yang dia lakukan. “Ini loh romantis, kunci keharmonisan rumah tangga.”

Oh, come on, rumah tangga mana sih yang tidak ingin harmonis.

Hanya saja, mungkin ada yang tidak pernah tertebak dalam benak kita. Bagaimana jika orang-orang yang sedang diuji rumah tangganya, ternyata adalah orang yang diam-diam menekuri tulisan-tulisan kita di dinding maya. Segala tagging status romantis kita, foto-foto mesra kita, kebersamaan kita dengan pasangan yang tidak henti difestivalkan, dalam waktu yang sama justru menjadi derai air mata bagi orang lain, entah siapa dia, di seberang sana. Oh, betapa dzalimnya kita…

Bukan tidak boleh romantis. Bukan tidak boleh memotivasi orang lain. Loh, bahkan itu perlu. Sangat! Namun semua hal di dunia ini memiliki kadar. Tidak semua rumah tangga dianugerahi rumah teduh semacam itu. Tidak semua pasangan memiliki kadar dan ekspresi romantis yang sama dengan kita. Tidak semua pasangan nyaman dengan kemesraan yang dibuat-buat.

Biarlah orang yang paling mengenal bagaimana romantis, mesra, dan perhatiannya kita kepada pasangan adalah pasangan kita sendiri. Biarlah setiap pasangan menemukan standar nilai kemesraan rumah tangga mereka sendiri, tanpa perlu menggunakan kacamata orang lain. Sesuatu yang memang bernilai, dengan sendirinya (nilai) sesuatu tersebut dapat dilihat orang lain, tanpa perlu difestivalkan terlebih dulu.

Boleh jadi, ada wanita yang hanya dengan ditemani ke toko buku, ia merasa bahwa suaminya adalah pria romantis stadium tiga. Atau boleh jadi juga, ada lelaki yang hanya dengan disiapkan air hangat untuk mandi, ia merasa memiliki istri yang mesranya tiada duanya. Tidak masalah kan, selama pasangannya nyaman? Meski pada dasarnya, sifat dasar lelaki dan wanita itu sama. Wanita ingin dimengerti, lelaki ingin dihargai.

Saya penyuka kata-kata indah, terus terang. Saya penggemar tulisan dengan diksi yang menarik, memang. Tapi saya sadari, boleh jadi kelak suami saya adalah lelaki yang tidak terlalu peduli dengan itu. Contohnya sekarang, saya paling gregetan dengan bahasa SMS yang lebih mirip bahasa isyarat.

Saya: “Assalamu’alaykum, Ukhti. Hari ini in syaa Allaah ada kajian bahasa Arab seperti biasa di tempat biasa. Bisa dateng ga?”

Fulanah: “Y.”

Atau,

Saya: “Assalamu’alaykum, Mbak. Saya nina. Maaf mengganggu, ada waktu sebentar untuk ngobrol?”

Fulanah: “Wss, mf sy lg klwr, bs ngbrl nnt y hbs isya. Tks.”

Hih, patah hati banget ga sih bacanya? 😥 (Haha, maaf rada curhat.)

Tapi siapa yang bisa menebak, kalau kelak saya justru berjodoh dengan suami yang hobinya ngetik pake bahasa isyarat semacam itu. Nah loh. Hehe. #mempersiapkandiri 😀

Menikah, Punya Anak, Kemudian Bahagia?

Percayalah, serepot apapun mengurus anak, rumah tangga manapun selalu mengidamkan kerepotan semacam ini.

Tidak sekali dua kali saya mengenal pasangan yang belum dikaruniai buah hati setelah bertahun-tahun menikah. Sudah jangan ditanya bagaimana perasaan mereka, sekalipun raut pilu tidak menyemburat.

Lagi-lagi media sosial menjadi ajang festival kebahagiaan. Saya tidak ingin melanjutkan bagian ini. Sudah tertebak, kan?

Hobi lain saya di masa-masa jomblo seperti ini adalah melahap buku-buku parenting. Qaddarallaah, di satu sisi, saya pun saat ini memang sedang butuh asupan otak semacam itu sebagai bekal mengajar. Tapi lebih dari itu, sebenarnya saya sendiri sedang membekali rumah tangga saya kelak. Terlepas nantinya saya dianugerahi keturunan atau tidak, semoga Allaah menilainya sebagai bagian dari ikhtiar atas doa-doa saya selama ini. Rabbi hablii minash shaalihiin…

Kelak di dunia ini, dipertemukan jodoh atau tidak, dianugerahi keturunan atau tidak, semuanya ketetapan Allaah. Mutlak, kita harus berkeyakinan bahwa ketetapan Allaah itu pasti baik bagi kita, meski tampaknya berat kita jalani. Jika kita menerimanya dengan ridha serta menambalnya dengan perbaikan diri, sederas apapun air mata yang mengiringinya, in syaa Allaah, ada hadiah yang lebih besar yang akan menggantikan permohonan kita selama ini. Percayalah, meski saya sendiri juga sedang belajar menumbuhkan dan menguatkan rasa percaya ini. #mempersiapkandiri :’)

Menikah, Membesarkan Anak, Bersama Suami?

Idealnya, husband always besides wife, anytime she needs him…

Tapi ternyata, setiap pasangan mestinya di-setting untuk siap menjadi single fighter, apapun alasannya. Bisa karena ajal, tugas panjang, atau bahkan cerai. Terutama perempuan. Ternyata menjadi perempuan yang “mandiri” itu memang penting. Mandiri dalam arti memiliki cukup bekal ilmu dan keterampilan yang bisa membantu kita tetap settle down dalam kondisi menjadi single parent.

Tentu kita berharap suami kita kelak akan terus mendampingi kita, ada di sisi kita kapanpun kita membutuhkannya, ada di dekat kita manakala anak-anak sedang bertumbuh besar. Perempuan mana yang tidak ingin? Hanya saja, terkadang idealisme kita harus terbentur dengan realita kehidupan kita sendiri.

Tidak ada yang salah dengan idealisme itu. Yang kita butuhkan hanyalah mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan. #mempersiapkandiri

Setelah ini…

Setelah menuliskan remah-remah pikiran ini, semoga saya bisa terus membekali, membenahi, dan mempersiapkan diri, terus memohon ketetapan yang terbaik, dan terus berusaha memiliki hati yang mudah ridha dengan ketetapan-Nya, apapun itu.

Belajar, belajar, belajar. Belajar mengendalikan akal, lisan, dan perasaan. 🙂

9 respons untuk ‘Merinai

  1. Cari suami yg gak hobi update status diri di fb dek….hehe…
    Cz kbiasaan suami berpengaruh pd kbiasaan istri.

    Perlu komitmen juga, dan buat kesepakatan dg suami utk tdk update status perihal rumah tangga pribadi dan anak2…krn memang rawan fitnah…

    Kita berlindung kpd Alloh dr kejahatan iri dengki org lain pd kita

    Disukai oleh 1 orang

  2. Ping-balik: Merinai – peninh

Tinggalkan komentar